Prioritaskan Kesejahteraan Guru
WACANA mengangkat pekerjaan guru sebagai profesi, seperti menjadi agenda Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo, menarik dicermati. Ketika berbicara mengenai profesi guru, saya teringat potongan lagu himne guru berikut, Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan, Engkau patriot pahlawan bangsa, Tanpa tanda jasa.
Potongan lagu himne guru di atas menunjukkan betapa pentingnya keberadaan seorang guru bagi kehidupan seorang manusia dalam mengenal dunia. Tanpa guru, tidak akan muncul generasi pintar yang akan membangun bumi ini. Semua orang pasti mengakui jasa seorang guru bagi dirinya walau hanya di dalam hati, tetapi mereka hanya mengakui dengan tanpa upaya memberikan suatu penghargaan yang lebih dibanding kepada profesi lain.
Akibatnya, profesi guru yang dulu merupakan profesi yang paling bergengsi dan menjadi dambaan bagi generasi muda pada zaman leluhur kita, kini menjadi profesi yang kurang diminati dan dihargai dibanding dengan profesi lainnya. Orang tua akan sangat bangga jika anaknya menjadi seorang dokter, insinyur, tentara, polisi, atau profesi lainnya dibanding menjadi seorang guru.
Pada jaman penjajahan Belanda, status profesi guru memang sangat tinggi. Guru dipandang sebagai pemimpin masyarakat yang disegani dan mempunyai status ekonomi yang relatif tinggi. Dalam buku Siti Sahara, Wanita Guru Pertama dari Mandailing, dalam Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa ditulis, pada tahun 1920-an misalnya, Ibu Guru Siti Sahara mempunyai gaji sebesar 40 gulden sebagai guru Kepala Sekolah Wanita di Bireum. Suatu jumlah yang amat besar waktu itu, mengingat ungkapan pada masa kolonial mengatakan bahwa seorang inlander cukup hidup dengan segobang (2,5) sen sehari.
Pada masa penjajahan Jepang, status profesi guru juga masih terhormat. Para guru diberi julukan Sensei yang dalam kebudayaan Jepang mempunyai kedudukan sosial yang amat dihormati. Dalam masa awal perjuangan kemerdekaan, para guru juga dihargai karena mereka bukan saja mengambil peran amat penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga ada yang ikut aktif menjadi tentara rakyat dan berperang mengusir penjajah.
Pascakemerdekaan sampai tahun 1950-an, citra dan status profesi guru dalam masyarakat juga masih tinggi. Para guru masih dilihat dan diperlakukan bukan hanya sebagai pendidik yang pantas digugu dan ditiru di sekolah, tetapi juga sebagai pemimpin masyarakat yang terhormat. Tingginya citra guru pada zaman penjajahan dan awal kemerdekaan di Indonesia berkait erat dengan citra masyarakat memandang profesi guru.
Pada masa itu, guru dicitrakan amat bagus karena berkait erat dengan status sosial (ekonomis, politis dan budaya) pemegang profesi yang bersangkutan dan kredibilitas professional para guru. Status ekonomi para guru pada waktu itu memang tinggi. Mereka mendapat imbalan jasa yang memadai untuk hidup sejahtera bersama keluarga.
"Digugu" dan "Ditiru"
Secara politis, guru diperlukan pemerintahan penjajah dalam rangka menunjang politik etisnya. Dengan kebijakan memberikan pendidikan dasar pada sementara inlander untuk tugas-tugas administratif yang diperlukan penjajah.
Dari sisi budaya, relasi guru dengan padepokan-padepokan sebagaimana terungkap dalam hubungan dengan para kyai di pesantren-pesantren, guru sungguh dilihat sebagai pemimpin yang digugu dan ditiru. Dalam masyarakat Jawa ada ungkapan, guru ratu wong tuwo akaro. Artinya, orang wajib menaati pertama-tama gurunya, kemudian rajanya, dan baru orang tuanya.
Dari uraian itu, jelas salah satu cara mengangkat citra guru bukan dengan memberikan sertifikasi seperti pengacara atau dokter, melainkan dengan memperbaiki citranya dalam masyarakat. Perbaikan citra erat kaitannya dengan mengubah cara pandang masyarakat terhadap pekerjaan guru. Persoalannya, kini citra guru sudah telanjur terpuruk dan bahkan pekerjaan guru dianggap pelarian karena tidak ada pekerjaan yang lebih layak.
Menurut penelitian Dr Martinus Tukir Handoko (1992:65), dari sekian banyak guru sebenarnya pada mulanya tidak mempunyai motivasi menjadi guru. Pada mulanya, mereka memang bersekolah di Sekolah Pendidikan Guru, tetapi sebenarnya tidak mempunyai maksud menjadi guru. Ada yang karena tidak diterima di sekolah lain, ada yang karena dipaksa orang tuanya, karena ekonomi keluarganya yang lemah, sehingga terpaksa masuk ke pendidikan guru.
Banyak orang tak mau menjalani profesi tersebut, sementara mereka yang sudah menjadi guru beralih ke profesi lain yang memberikan kesejahteraan lebih baik. Menurut data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, jumlah guru SD yang berpindah profesi per Juli 2004 sudah mencapai 50,6 persen dari 993.108 guru yang ada. Menjadikan guru sebagai profesi tidak menjamin citra guru akan meningkat. Bahkan guru semakin dituntut pengabdiannya yang besar kepada masyarakat bahkan dengan imbalan yang amat rendah.
Mending, menjadi pengacara atau dokter yang memperoleh izin membuka praktik sendiri manakala imbalan dari pekerjaan resminya sangat kecil. Guru sangat tergantung pada pekerjaan yang diciptakan oleh orang lain entah itu perorangan, yayasan atau pemerintah. Dengan demikian, guru harus patuh terhadap norma-norma yang dibuat oleh kekuasaan di luar dirinya sendiri.
Profesionalisme adalah suatu paham yang mencitakan dilakukannya kegiatan-kegiatan kerja tertentu dalam masyarakat, berbekalkan keahlian yang tinggi dan berdasarkan rasa keterpanggilan - serta ikrar (fateri/profiteri) untuk menerima panggilan tersebut - untuk dengan semangat pengabdian selalu siap memberikan pertolongan kepada sesama yang tengah dirundung kesulitan di tengah gelapnya kehidupan (Wignjosoebroto, 1999).
Dengan demikian seorang profesional jelas harus memiliki profesi tertentu yang diperoleh melalui sebuah proses pendidikan maupun pelatihan yang khusus, dan disamping itu pula ada unsur semangat pengabdian (panggilan profesi) di dalam melaksanakan suatu kegiatan kerja.
Hal ini perlu ditekankan benar untuk membedakannya dengan kerja biasa (occupation) yang semata bertujuan untuk mencari nafkah dan/ atau kekayaan materiil-duniawi. Lebih lanjut dijabarkan, profesionalisme dalam tiga watak kerja yang merupakan persyaratan dari setiap kegiatan pemberian "jasa profesi" (dan bukan okupasi).
Pertama, bahwa kerja seorang profesional itu beriktikad untuk merealisasikan kebajikan demi tegaknya kehormatan profesi yang digeluti, dan oleh karenanya tidak terlalu mementingkan atau mengharapkan imbalan upah materiil;
Kedua, bahwa kerja seorang profesional itu harus dilandasi oleh kemahiran teknis yang berkualitas tinggi yang dicapai melalui proses pendidikan dan/atau pelatihan yang panjang, eksklusif dan berat;
Ketiga, bahwa kerja seorang profesional - diukur dengan kualitas teknis dan kualitas moral - harus menundukkan diri pada sebuah mekanisme kontrol berupa kode etik yang dikembangkan dan disepakati bersama didalam sebuah organisasi profesi.
Ketiga watak kerja tersebut mencoba menempatkan kaum profesional (kelompok sosial berkeahlian) untuk tetap mempertahankan idealisme yang menyatakan bahwa keahlian profesi yang dikuasai bukanlah komoditas yang hendak diperjual-belikan sekadar untuk memperoleh nafkah, melainkan suatu kebajikan yang hendak diabdikan demi kesejahteraan umat manusia.
Kalau di dalam pengamalan profesi yang diberikan ternyata ada semacam imbalan (honorarium) yang diterimakan, hal itu semata hanya sekadar "tanda kehormatan" (honour) demi tegaknya kehormatan profesi, yang jelas akan berbeda nilainya dengan pemberian upah yang hanya pantas diterimakan bagi para pekerja upahan saja.
Kerja Sampingan
Masih rendahnya tingkat profesionalisme guru saat ini disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari internal guru itu sendiri dan faktor lainnya yang berasal dari luar. Faktor-faktor tersebut antara lain: Penghasilan yang diperoleh guru belum mampu memenuhi kebutuhan hidup harian keluarga secara mencukupi. Oleh karena itu, upaya untuk menambah pengetahuan dan informasi menjadi terhambat karena dana untuk membeli buku, berlangganan koran, internet, tidak tersedia. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan dapur harus juga melakukan kerja sampingan lainnya.
Di samping itu, kurangnya minat guru untuk menambah wawasan sebagai upaya meningkatkan tingkat profesionalisme sebab bertambah atau tidaknya pengetahuan serta kemampuan dalam melaksanakan tugas rutin tidak berpengaruh terhadap pendapatan yang diperolehnya. Kalaupun ada, hal itu tidak seimbang dengan pengorbanan yang telah dikeluarkan.
Serta, meledaknya jumlah lulusan sekolah guru dari tahun ke tahun. Hal itu merupakan akibat dari mudahnya pemerintah memberikan izin pendirian LPTK (Lembaga Pendidikan Tinggi Keguruan). Mereka yang tidak tertampung oleh pasar kerja, mencoba menjadi guru, sehingga profesi ini menjadi pekerjaan yang "murah".
Ironis memang, guru yang telah banyak menghasilkan para pemimpin, politisi dan ilmuwan serta berbagai profesi lainnya, kini dianggap sebagai profesi "murah" dan menjadi kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Hal ini bukanlah harus dilawan oleh guru secara fisik atau perang kata-kata agar yang lain mau mengakui dan menerima guru sebagai tenaga yang profesional yang berjasa bagi pembangunan negeri ini.
J Sudarminta (2001:60) mengatakan, dari sisi guru sendiri rendahnya mutu guru tampak dari gejala: 1) lemahnya penguasaan bahan yang diajarkan;
2) ketidaksesuaian antara bidang studi yang dipelajari guru dan yang dalam kenyataan di lapangan
dijabarkan;
3) kurang efektifnya cara pengajaran;
4) kurangnya wibawa guru di hadapan murid;
5) lemahnya motivasi dan dedikasi untuk menjadi pendidik yang sungguh-sungguh; semakin banyak
yang kebetulan menjadi guru dan tidak betul-betul menjadi guru;
6) kurangnya kematangan emosional, kemandirian berpikir, dan keteguhan sikap sehingga dari
kepribadian mereka sebenarnya tidak siap sebagai pendidik dan
7) relatif rendahnya kapasitas intelektual calon guru dan para guru.
Mengangkat citra guru, sebagaimana zaman penjajahan, jelas tidak mungkin. Namun, jika pemerintah mau sungguh-sungguh, seperti perbaikan insentif material dan kesejahteraan hidup, maka profesi guru akan membaik. Komitmen politik Mendiknas mestinya tidak hanya menjadikan guru sebagai profesi tetapi juga didahului dengan perbaikan kesejahteraan dan kualitas guru.
“Guru Seharusnya
Tak Cuma Bisa Mengajar”
Mutu
seorang guru, bagaimana pun akan berimplikasi pada anak-anak didiknya.
Menjelang peringatan Hari Guru Nasional yang jatuh pada 25 November 2006, masih
sederet pekerjaan rumah yang menanti dibenahi oleh pemerintah, dalam hal ini
Departemen Pendidikan Nasional. Satu pekerjaan yang cukup mendesak adalah
pelaksanaan program sertifikasi profesi yang masih menunggu ditekennya
Peraturan Pemerintah yang kelak memayunginya.
Program
sertifikasi merupakan implementasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen. Dalam pasal 8, disebutkna guru wajib menyandang kualifikasi
akademik, kompetensi, serta memiliki sertifikat sebagi pendidik. Jelas, tujuan
utamanya tak lain adalah untuk meningkatkan kemampuan guru maupun dosen dalam
hal mengajar. Selebihnya, agar dapat memperbaiki tingkat kesejahteraan guru
yang selama ini tertinggal jauh dibelakang.
Rencananya,
sertifikasi guru tersebut akan dimulai Desember tahun 2006 ini. Diharapkan
langkah ini bisa memperbaiki kesejahteraan guru layaknya profesi lain. Lalu apa
saja kebijakan Depdiknas terhadap guru? Berikut perbincangan Menteri Pendidikan
Nasional Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA. Berikut petikannya.
Menurut
Anda, penjabaran konsep guru sebagai profesi?
UU
tentang Guru dan Dosen sudah lahir sejak 2 Desember 2005. Subtansinya mengatur
guru sebagai profesi. Guru juga sama dengan dokter, akuntan, pengacara, dan
sebagainya. Maka, guru juga harus memiliki semacam sertifikat profesi sebagai
pendidikan tambahan. Guru sebelumnya ada yang lulusan SPG, D1 atau D2. Tapi
sekarang, guru minimal harus S1.
Apa
saja yang dilakukan untuk mendukung program tersebut?
UU
Guru dan Dosen ini akan menjadi lompatan kebijakan atau reformasi pendidikan
yang mendasar sekali. Dan ini sudah berlaku di negara-begara lain seperti
Malaysia, Taiwan, bahkan di negara-negara maju semacam Inggris, Australia.
Usulan saya perlu dibentuk satu direktorat jenderal baru yang khusus mengatur
tentang guru yaitu Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan (Ditjen PMPTK). Dan ini disetujui oleh Presiden. Mengenai PP
tentang guru sudah selesai di tingkat Depdiknas, kini sedang menuggu
kelengkapan proses administrasinya di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Ssya benar-benar ingin mengambil langkah nyata untuk membenahi masalah guru
ini.
Bagaimana
Anda melihat peran dan fungsi guru?
Saya
menyadari betul sumbangan dari guru untuk meningkatkan pendidikan adalah hal
krusial. Setelah prasarana dan sarana terpenuhi, maka faktor penentu utama mutu
pendidikan adalah guru.
Lantas
seperti apa sosok guru yang ideal?
Ini
mengingatkan pada almarhum ayah saya. Beliau seorang guru agama di sekolah
dasar. Dia visioner sekali, keras dan akan marah kalau dengar seseorang tak
punya cita-cita tinggi. Bagi saya, guru seharusnya tak Cuma bisa mengajar tapi
juga punya kedalaman. Mampu membangun afektif, kognitif, kemampuan psikomotorik
dan menggerakkan hati.
Kedalaman
seperti apa yang Anda maksud?
Ada
kecenderungan yang namanya pendidikan itu hanya masalah pendidikan otak. Karena
manusia juga punya perasaan, maka kita harus mulai kembali mengalokasikan peran
dari rasa dan peran dari hati. Inilah kedalaman.
Kepercayaan
terhadap profesi guru mengalami pergeseran?
Kalau
dulu, guru sama dengan tokoh masyarakat, digugu dan ditiru. Tapi sekarang,
banyak yang tidak direken. Ini sebetulnya kegagalan guru dalam mempertahankan
status sosialnya. Makan, dengan dideklarasikannya guru sebagai profesi, saya
akan mendudukkan profesi guru termasuk tunjangan kesejahteraannya. Kedepannya,
diharapkan akan banyak anak-anak yang tertarik menjadi calon guru.
Karena
kompetensi dan profesionalisme guru juga mengalami pergeseran?
Betul.
Saat ini dari sekitar 2,7 juta guru dari jenjang pra sekolah hingga sekolah
mengengah, baik negeri maupun swasta, banyak yang kurang memenuhi standar
kelayakan. Pada jenjang SD saja, tidak kurang dari 609.217 orang yang tidak
layak, kemudian pada jenjang SMP, SMA, dan SMK yang belum memiliki kualifikasi
masing-masing 36,33 dan 43 persen. Masih banyak guru yang mengajar tidak sesuai
dengan bidang keahliannya, yaitu sekitar 15 persen dari guru yang ada.
Lantas
bagaimana dengan upaya masing-masing satuan pendidikan menyikapi ini?
Sekarang
banyak sekolah-sekolah swasta yang mulai muncul kesadarannya akan mutu, dan
memberikan perhatian yang besar dan proposional terhadap guru. Baik dari
sekolah unggulan mau pun kalangan sekolah agama, mulai muncul ‘virus baru’
kesadaran mutu. Ini harus ditularkan.
Kalau
pemerintah?
Ya,
sertifikasi profesi. Artinya memberikan ukutan sejauh mana tingkat kompetensi
dan profesionalisme mereka. Dan sejalan dengan itu, kami juga memberikan
penghargaan berupa peningkatan kesejahteraan mereka.
Tapi anehnya setelah kesejahteraan itu terpikirkan, malah sekarang timbul masalah baru dalam dunia kerja seorang guru. Dengan adanya Sertifikasi tersebut bukan malah membuat banyak yang bersyukur melainkan Rasa Iri, Syirik dan dengki diantara sesama guru semakin tak terkontrol karena berebut jam pelajaran dan berebut posisi untuk mendapatkan giliran sertifikasi pertama kali. Tidak hanya itu semua ingin diakui dan mencari pengakuan sendiri-sendiri. Inikah sebenarnya yang dihasilkan dari Sertifikasi guru tersebut.....? jawabnya hanya ada pada Rasa Kesadaran dan Pengertian masing-masing individu Guru tersebut dalam memahami dan memaknai akan adanya Sertifikasi Guru bagi kesejahteraan Mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar