Jumat, Juni 28, 2013

Pendidikan Nasional



LUHUR DAN HANCURNYA PENDIDIKAN NASIONAL


Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan dari Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia. Selain melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanaka ketertiban dunia, alinea keempat Pembukaan UUD Tahun 1945 mengamanatkan bahwa beban mencerdaskan kehidupan bangsa ada pada pemerintah. Dan oleh karena itulah Pemerintah Negara Indonesia dibentuk melalui Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.

Dengan kemerdekaan, proses mencerdaskan kehidupan bangsa lebih mungkin untuk dilakukan. Sebab tanpa kemerdekaan tidak akan mungkin terselenggara pendidikan berkualitas dan berkeadilan yang dapat mencerdaskan segenap bangsa Indonesia. Tanpa kemerdekaan pendidikan hanya akan dinikmati oleh anak-anak kaum penjajah dan para priyayi. Kemerdekaan membuka akses terhadap pendidikan kepada siapapun.

Kemerdekaan dan pendidikan adalah dua elemen yang saling mendukung, satu membutuhkan yang lainnya. Kemerdekaan mampu menciptakan pendidikan yang lebih baik. Namun, tanpa pendidikan tidak akan lahir gagasan tentang kemerdekaan. Gagasan tentang bangsa merdeka yang diusung oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional pun tidak bisa dilepaskan dari proses pendidikan yang telah mereka terima.

Salah satu tokoh pergerakan nasional tersebut adalah Soewardi Surjaningrat atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Pendidikan tidak hanya melahirkan gagasan kemerdekaan dalam khasanah berpikir Ki Hajar, namun juga menjadi alat perjuangannya untuk mewujudkan kemerdekaan. Soewardi menjadikan kemerdekaan sebagai azas pendidikan. Bagi Ki Hajar, mengisi jiwa merdeka pada anak-anak Indonesia yang sedang dijajah berarti mempersenjatai bangsa dengan keberanian untuk berjuang.

Setelah menggunakan pers, partai politik dan organisasi massa, pendidikan adalah alat perjuangan terakhir yang digunakan Ki Hajar untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaannya. Dengan memberikan pendidikan yang memadai kepada rakyat akan menciptakan wawasan yang luas bagi mereka, yang pada akhirnya akan melahirkan kehendak untuk memerdekakan jiwa dan raganya. Taman Siswa lahir dengan latar belakang ini.

Sama seperti alat perjuangan yang pernah ia gunakan, pendidikan sebagai alat perjuanganpun harus menghadapi berbagai macam hambatan yang dipasang oleh pemerintah kolonial. Melalui wilde scholen ordonantie (ordonansi 'sekolah liar') pemerintah kolonial berupaya membendung perjuangan kemerdekaan melalui jalur pendidikan.

Ordonansi ini mengatur tentang izin penyelenggaraan pendidikan. Sekolah yang dianggap mengganggu 'ketertiban umum' tidak akan diberikan izin, dan dianggap sebagai 'sekolah liar'. Namun ordonansi ini tidak dapat diberlakukan secara efektif karena mendapatkan perlawanan yang luar biasa dari para tokoh dan organisasi pergerakan nasional.

Ya, elok dan luhur nian konsep pendidikan menurut Ki Hajar. Konsep yang tetap relevan hingga saat ini. Jika pada era sekarang -- yang katanya begitu canggih -- saja konsep ini begitu cemerlang, apalagi pada saat konsep ini dilahirkan. Bisa jadi pada masa kelahirannya konsep ini tidak terlalu cemerlang, karena keluhuran hati dan pikiran, mudah kita dapatkan pada masa itu. Sementara di era milenium yang menampilkan berbagai macam kecanggihan ini, keluhuran sulit didapatkan, termasuk dalam dunia pendidikan.

Ironi Pendidikan Nasional
Taman Siswa berdiri tahun sejak 3 Juli 1922, 89 tahun lalu. Lebih jauh lagi, "Medan Prijaji", koran pertama yang dikelola oleh kaum pribumi terbit pada tahun 1903. Namun kenyataan yang ada seolah menampilkan sebuah ironi. Hingga September 2010, 5,3 persen atau 8,7 juta orang penduduk negeri ini menyandang status buta aksara. Selain keterisolasian, kemiskinan memberikan kontribusi besar terhadap angka kebutaaksaraan.

Seorang teman yang menjadi guru di salahsatu sekolah menengah swasta di Kabupaten Sorong, mengatakan bahwa kemampuan membaca sejumlah siswanya masih menjadi persoalan. Mereka masih kesulitan dalam membaca. Selain itu, guru juga harus 'berjuang' memilih kata atau kalimat yang sangat sederhana agar dapat dimengerti oleh murid-muridnya. Maklum, sekalipun para murid adalah putera-puteri bangsa Indonesia, namun pengetahuan mereka tentang kosa kata bahasa Indonesiapun masih sangat terbatas.

Padahal, program wajib belajar sudah dicanangkan sejak tahun 1950, lima tahun setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. UU Nomor 4 tahun 1950 jo UU Nomor 12 tahun 1954 menjadi payung hukum penyelenggaraan pendidikan. Setiap anak yang berusia 8 sampai 14 tahun diwajibkan mengikuti program ini. Program wajib belajar pada era ini tidak berjalan efektif, bukan hanya karena kemiskinan, namun juga karena berbagai pergolakan politik dan pemberontakan yang mendera perjalanan negara belia ini.

Pergantian kepemimpinan nasional ternyata tidak membawa arti bagi wajah pendidikan nasional. Jangankan pendidikan sebagai sebuah nilai, yang namanya (bangunan) sekolahpun tidak diurus secara pantas. Kasus bangunan sekolah rusak dan roboh serta ditukarguling untuk kepentingan bisnis masih kerap terjadi. Jika di Jakarta saja persoalan seperti ini masih terjadi, kita sudah dapat membayangkan nasib pendidikan di daerah-daerah lain.

Ujian Nasional
Melalui Ujian Nasional Pemerintah berusaha meningkatkan kualitas dan membuat standar pendidikan nasional. Nilai UN menjadi penentu kelulusan para siswa. Alih-alih meningkatkan mutu dan standar pendidikan, pembentukan standar pendidikan melalui UN justru menuai kritik dan kecaman. Bahkan sejumlah orangtua murid, guru dan para pemerhati pendidikan menggugat Pemerintah secara perdata melalui mekanisme citizen law suit (CLS). Pada setiap tingkatan pemeriksaan pengadilan hingga Mahkamah Agung, permohonan para penggugat dikabulkan.

Sejatinya, UN bukan hanya tidak memiliki legitimasi sosial dan moral, namun juga legal. Namun pada kenyataannya UN masih tetap diselenggarakan dan masih menjadi penentu kelulusan dan standar pendidikan nasional, walaupun belakangan pemerintah melalui Kementerian Pendidikan menetapkan kelulusan tidak lagi hanya ditentuka oleh UN, namun penggabungan dari nilai sekolah sebesar 40 persen dan 60 persen nilai UN.

Masuknya 40 persen nilai ujian sekolah sebagai komponen nilai kelulusan tidak serta-merta mengurangi 'kepanikan' para siswa, guru, kepala sekolah dan orangtua murid dalam menghadapi UN. Beragam jurus mereka gunakan untuk menghadapi UN. Mulai dari jurus yang paling elok dengan memberikan pelajaran tambahan hingga praktik curang memberikan bocoran jawaban dan mencontek (massal atau individual).

Sepanjang penyelenggaraannya, selain kasus bunuh diri, UN ternyata menyumbang pada kenaikan angka kriminalitas, seperti kasus pembocoran soal ujian, joki dan penipuan. Kualitas pendidikan tidak mengalami peningkatan sebagaimana yang diinginkan, penyelenggaraan UN justru semakin menjauhkan pemangku kepentingan dari esensi pendidikan.

Nilai-nilai luhur yang harusnya ditumbuhkan dan dijaga oleh lembaga sekolah justru dihancurkan. Mencontek yang pada awalnya adalah 'kejahatan' intelektual justru dianjurkan. Nilai-nilai solidaritas dan kesetiakawanan diartikan memberikan jawaban kepada teman-teman yang tidak bisa menjawab soal UN. Nilai-nilai kemandirian digadaikan dengan kelulusan. Kepala sekolah dan guru-guru beramai-ramai 'menggebuki' rekan sejawatnya yang membongkar kecurangan UN di sekolahnya.

'Kecelakaan' dalam dunia pendidikan tidak hanya terjadi di institusi pendidikan, namun sudah merembes hingga komunitas masyarakat paling bawah. Siami harus terusir dari rumahnya sendiri. Warga sekampung yang juga orangtua murid mengusirnya karena ia membongkar praktik contek massal di sekolah anaknya. Para orangtua seakan lupa bahwa ketika mereka bersekolahpun mencontek adalah perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan. Demi anaknya lulus UN, para orangtua seakan mendukung anak-anaknya terlibat aksi meruntuhkan nilai-nilai pendidikan di sekolah.

Aksi contek yang memperoleh legitimasi dari kepala sekolah, guru dan orangtua murid tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Setuju atau tidak setuju dengan berbagai macam praktik curang dalam menghadapi UN, tindakan tersebut bisa kita lihat sebagai bentuk perlawanan atau pembangkangan dari pihak sekolah. Sebab Pemerintah (pusat) yang tidak pernah memberikan perhatian kepada sekolah mereka, justru banyak mengatur, mengevaluasi dan menentukan lulus tidaknya siswa yang telah mereka didik selama sekian tahun.

Alangkah bijaksananya jika sebelum memberikan standarisasi mutu melalui UN, pemerintah mengurus standarisasi proses pendidikan. Misalnya standar perpustakaan, laboratorium dan lapangan olahraga yang harus dimiliki oleh sekolah. Termasuk standar kualitas dan kompetensi guru serta rasio guru dan murid.

Jika Pemerintah tidak mau mengurus standar proses pendidikan, maka menjadi tidak adil jika Pemerintah melakukan standarisasi output melalui UN. Dan tidak adil pula jika para murid dari belantara Papua harus 'bertanding' dengan siswa yang bersekolah di kota besar dengan fasilitas yang lengkap dan canggih.

RSBI
Penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas semestinya terjadi di seluruh sekolah dan jenjang pendidikan, tidak dijelmakan dalam rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI). Dalam praktik, RSBI semakin menjauhkan akses orang miskin terhadap pendidikan. Sebab, selain anak harus memiliki nilai UN yang memenuhi syarat, orangtua juga harus membayar berbagai macam pungutan yang jumlahnya mencapai jutaan rupiah. (Kompas 6 Juli 2011)

Jika RSBI dianggap sebagai model pendidikan yang paling baik, harusnya ia diselenggarakan di setiap sekolah. Bukan pada sekolah-sekolah tertentu yang justru melahirkan ekslusivitas sekolah. Konstitusi menjamin bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan Pemerintah wajib membiayai. Pemerintahpun dituntut untuk mengusahakan sistem pendidikan nasional, bukan sekolah dengan standar internasional.

Jika sistem penyelenggaraan pendidikan seperti ini masih tetap dipertahankan, maka keadilan di bidang pendidikan tidak akan pernah terwujud. Pendidikan tidak lagi menjadi bagian dari hak asasi manusia, tapi sebuah komoditi. Angka putus sekolah pun makin sulit dibendung. Dan angka kemiskinan pun akan terus melambung, karena pendidikan sebagai sarana transformasi tidak dapat dikecap oleh si miskin.

Oleh : Rinto Tri Hasworo*

* Penulis adalah Advokat dan Peneliti, bekerja pada Institute for Ecosoc Rights, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

SANG "GURU"



Dibalik Kata Sang “GURU”
Assalamualaikum.....Bahan Kajian dan Renungan Bagi Seorang "GURU"

Setiap orang mempunyai hak untuk memberikan sebuah sumbangsih sedikit pemikiran demi kemaslahatan kalo memang pemikiran tersebut benar-benar bisa dibuktikan secara realita dan nyata dalam kehidupan. Untuk itu Abdi disini hanya sedikit memberikan sebuah Goresan kata dalam hati untuk kita renungi bersama bagi kita yang berprofesi sebagai seorang pendidik "GURU".

Makna kata "GURU" merupakan sakral sekali bagi mereka yang benar-benar tahu dan mendalami Peran dan Fungsi Seorang "Guru" yang sesungguhnya. Dalam Realitas yang ada sekarang ini banyak orang yang berlomba-lomba untuk menjadi seorang "GURU" Kenapa ??????? ea tentulah jawabannya sudah bisa kita tebak sendiri. 

Profesi "GURU" saat ini adalah profesi yang sangat menjanjikan kalau hanya sekedar untuk mencukupi kebutuhan hidup personal. Betapa tidak sudah berapa kali peraturan pemerintah yang mensuport keinginan "GURU" disaat ini, mulai dari adanya berbagai macam Tunjangan, Kenaikan Gaji bahkan sekarang yang lagi banyak dibicarakan adalah masalah sertifikasi. Sehingga dengan adanya itu semua liat aja banyak guru yang Model hidupnya sudah mengikuti para Pejabat kelas tinggi tetapi tidak tahu sebenarnya itu semua mempunyai tanggung jawab yang besar didalamnya. Dari tanggung jawab itu sendiripun masih banyak kenyataannya "GURU" yang cuek dan tak banyak peduli dengan permasalahan-permasalahan pendidikan yang sesungguhnya. "Banyak yang Asal ngajar" intinya Datang kesekolah, masuk kelas, ngajar terus pulang....???????? tanpa ada beban sama sekali dengan masalah-masalah para siswa-siswinya disekolah. Bahkan yang lebih parah lagi adalah banyak Guru cuek dan hanya ingin mencari citra dihadapan sesama para guru dengan jalan yang begitu tidak terpuji (Itu menurut hukum agama) bisanya hanya ngomong dibelakang dengan mencari teman yang menurut dia bisa dia manfaatkan untuk mendukung omongannya, tetapi tidak ada niat untuk mencari pembenahan dan solusi demi kebaikan. (Semua hanya mencari Pembenaran berdasarkan Pengalaman, Usia Tua yang merasa lebih segalanya, Masa Kerja yang mungkin lebih lama, Pendidikan yang lebih tinggi, kedudukan atau jabatan yang dipunyai dll). (QS. Luqman ayat 16. (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui”)

Dan yang paling membuat Hati trenyuh bila melihat seorang Guru yang bisanya hanya Mencari-cari kesalahan bahkan mengungkit-ungkit hal yang tidak semestinya dalam kategori dan kapasitas seorang guru (yang mempunyai Akhlaq Terpuji). Senang akan membicarakan aib sesama guru padahal dia tidak tahu maksud dan tujuan yang sesungguhnya, tapi kenyataannya dirinya sendiri tidak bisa mengaca, menyelami dan memahami apa yang sudah dilakukannya selama ini itu benar-apa salah. (QS. Luqman Ayat 6 “dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan Perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan”)

Yang ditunjukkan dan ditampakkan pada dirinya hanyalah kebaikan dan kebaikannya saja tidak pernah ia menyelami kekurangan dan kelemahannya. Yang pada akhirnya membuat sebuah keresahan dan kesenjangan dalam sebuah Tatanan Silaturrahim (Team Work) sesama Guru dalam mengemban Amanah mendidik dan membimbing serta mengasuh anak didik untuk menjadi yang lebih baik. Masih Banyak Guru yang beranggapan Kolot tentang Hubungan dan Status Seorang Guru dengan Muridnya. (Guru Ya Guru/Murid Ya Murid). Padahal bila kita memaknai (QS. Luqman Ayat 18. “dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”) sungguh luar biasa makna yang tersirat didalamnya dalam memposisikan kita sebagai seorang Guru dalam mendidik, Mengajar, Membina dan Mengasuh anak didik kita. 

Saat ini dengan jaman seperti sekarang ini seharusnya kita bisa mengerti dan memahami dengan kebesaran hati bahwa jaman sekarang bukanlah jaman disaat kita sekolah dulu jaman dimana kita masih menjadi seorang Murid dulu. Saat ini Peran Seorang Guru tidak hanya sebagai seorang Pendidik dan pentransfer Ilmu pengetahuan saja lebih dari itu kita harus bisa memposisikan Kapan Kita menjadi Seorang Guru yang kompeten dihadapan Siswa, Kapan Kita bisa menjadi Orang Tua pengganti Orang Tua mereka dirumah, kapan kita bisa menjadi sahabat/Teman Mereka, dan Kapan kita bisa menjadi tempat Curahan Hati mereka untuk bisa mensuport segala apa yang menjadi keinginan dan cita-cita mereka. Bukan Pujian, bukan Penghargaan, bukan kedudukan atau jabatan yang kita utamakan melainkan ketulusan dan keikhlasan hati yang diperlukan untuk menjalankan Amanah Menjadi Seorang Guru. (Filosofi Wong Jowo “Kalau Ingin dihargai Orang maka Hargailah Orang Lain tanpa harus melihat status/strata sosial yang dimiliki). Karena Sesungguhnya Manusia dihadapan Allah itu Hakekatnya Sama tanpa terkecuali, yang membedakan hanyalah Tingkat keimanan dan Ketaqwaan yang dimiliki orang tersebut.

Nah apakah kita pernah bertanya pada diri sendiri inikah saya seorang GURU ?........Tentu tidak karena yang dicari hanyalah Penghargaan, Penghormatan, Pencitraan pada Manusia Saja bukan Karena Allah SWT (Bagi Orang yang Hanya mementingkan Dirinya Sendiri). Tapi, Bila semua yang dilakukan itu tulus dan ikhlas karena Allah Semata saya yaqin yang ada bukan saling menjatuhkan diantara sesama guru melainkan meningkatkan dan menciptakan komunikasi yang baik dengan bisa menempatkan porsi dan kedudukan yang ada dalam setiap permasalahan yang dihadapi dalam dunia pendidikan. Bukan Slintutan, Singit-singitan atau bahkan menjual omongan yang tidak semestinya dengan kapasitas sebagai seorang Guru. Apa memang sudah jamannya seperti ini….?.............Yang bisa menjawab hanya hati nurani kita masing-masing.

Dari realitas dan kenyataan semacam itu toh "mereka" tidak canggung dan tidak malu menyebut dirinya sebagai seorang "GURU". Sebenarnya kalo kita pikir dengan hati yang jernih dan otak yang bersih sesungguhnya "Guru" dijaman sekarang tidak layak disebut sebagai seorang "GURU" yang pantas adalah "TENAGA PENDIDIK" saja dan juga tidak layak disebut sebagai "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" karena apa ???? yah kita liat saja sendiri berapa banyak pemasukan yang dihasilkan oleh seorang "Guru" dari profesinya tersebut. Iya Kalo "GURU" jaman dulu emang pantas disebut sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa dan bener-bener seorang GURU sejati karena antara yang didapatkan dengan apa yang dia kerjakan 180 derajat sangat tidak berimbang.

Abdi adalah juga seorang "Tenaga Pendidik" melihat dan memahami dari makna "GURU" yang sesungguhnya ABDI sangat malu dan tidak layak disebut sebagai seorang "GURU" Karena jujur saja abdi masih jauh dari disebut Sebagai seorang “GURU” yah pantasnya "Staff Pendidik/Pengajar" Gitu aja. "GURU" digugu lan ditiru....makna ini sudah adakah dalam jiwa kita ??????? (Tidak hanya digugu dan ditiru sebatas omongannya Saja tetapi juga semua yang ada pada sendi hidup kita, Tingkah Laku Perbuatan, Akhlaq, Cerminan Hati, Pandangan Hidup dll) padahal jujur aja dalam kehidupan saat ini banyak sekali "Guru" yang tidak bisa memegang makna tersebut. Untuk itu mari sama-sama dengan media Group ini kita tingkatkatkan kembali rasa solidaritas sesama "Tenaga Pendidik/Pengajar" untuk tetap saling memberikan informasi, saran dan nasehatnya demi pengembangan pengetahuan pribadi. Serta senantiasa menggunakan Hati dan Aqidah didalam setiap menyelami sebuah wacana yang ada. (Bukan karena Nafsu duniawi, Iri, syirik dan Dengki) Mari kita ingat bersama bahwa Tugas dan tanggung jawab kita tidak hanya sebatas didunia saja, melainkan kelak dihadapanNya itulah akhir penentuan Tugas dan tanggung jawab kita yang sesungguhnya.

Demikian sedikit dari hasil penyelaman kata hati ABDI tentang wacana seorang "GURU" dikaca pandang mata Abdi. Semoga bermanfaat, dan semoga ini akan menjadi motivasi kita bersama untuk bisa lebih baik dan lebih baik, bukan karena ingin dipandang orang hanya untuk jabatan, tetapi bener-bener tulus wujud pengabdian kita seorang hamba kepada RobbNya. Amin. Fastabiqul Khoiroth. Jayalah "GURUKU" Perhatian, Pelayanan dan Pengabdianmu yang kami butuhkan bukan Sekedar Ilmu yang engkau transferkan kepada Kami. Mohon ma'af bila ada kata yang kurang berkenan. Terimakasih.

Wassalamualaikum.